Bercocok Tanam di Tengah Keterbatasan Lahan

Bercocok Tanam di Tengah Keterbatasan Lahan - Perjalanan zaman telah menelurkan ide-ide baru yang brilian. Hari ini, hampir seluruh aspek kehidupan, teknologi hadir dan mengambil peran. Tak terkecuali dalam wilayah pertanian.

Selama ini, pertanian di Indonesia identik dengan masyarakat pedesaan. Di desa, bercocok tanam merupakan sumber mata pencaharian utama untuk menghidupi keluarga. Hampir seluruh masyarakat desa menggantungkan kelangsungan hidupnya dari hasil bercocok tanamnya.

Sedang di kota, bertani seakan suatu yang tabu. Menjamurnya beton-beton nan menjulang menjadi alasan tidak tersedianya lahan yang memadai. Di kota, tak banyak kita saksikan daun segar melambai-lambai. Tidak seperti di desa, setiap langkah kaki yang kita pijakkan mendapat sambutan mesra dari hijaunya dedaunan.

Budidaya hidroponik di Balai Besar Latihan Masyarakat Yogyakarta.
Budidaya hidroponik di Balai Besar Latihan Masyarakat Yogyakarta.


Hidroponik, Konsep Pertanian Kota

Kemarin, Jumat 7 Juli 2017, bersama Mas Eman Hermawan dan Anwar Mustajab, saya berkunjung ke Balai Besar Latihan Masyarakat (BBLM) Yogyakarta. Di BBLM, kami bertemu dengan Pak Heri, pejabat setempat yang dikenal sebagai pakar, pelaku, penggerak sekaligus pelopor hidroponik.

Pengalamannya tak diragukan lagi. Dari Aceh hingga Papua, Pak Heri telah menebar inspirasinya – baik dalam seminar, pelatihan, loka karya atau diundang secara khusus memberi taklimat pada lembaga-lembaga dan perorangan.

Nah, kunjungan ke BBLM Yogyakarta dan pertemuan dengan Pak Heri inilah yang mengispirasi saya untuk menulis seputar hidroponik, semacam catatan perjalanan lebih tepatnya. Bagi saya, ini pengetahuan baru yang keren sekaligus beken, sayang kalau dilewatkan. Karenanya, saya akan berbagi sekelumit cerita tentang hidroponik yang baru saya kenal tersebut.

Secara sederhana, hidroponik dikatakan sebagai budidaya menanam dengan memaksimalkan kebutuhan air tanpa menggunakan tanah. Budidaya ini menekankan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi tanaman. Orang Eropa menyebutnya hydroponic, diambil dari bahasa Yunani; hydro dan ponos yang artinya daya air.

Pada dasarnya, hidroponik membutuhkan air yang lebih sedikit dari pada budidaya menanam menggunakan tanah atau pertanian konvensional. Artinya, penggunaan air pada hidroponik lebih efisien. Karenanya pula, hidroponik cocok bagi daerah yang pasokan airnya sedikit.

Pada kunjungan ke BBLM, Pak Heri menceritakan banyak hal tentang hidroponik. Semisal, panennya lebih cepat, perawatannya yang santai, sayuran hidroponik lebih gurih, renyah, higienis dan semacamnya. Pak Heri juga menjelaskan bagaimana perawatan hidroponik, mengontrol kebutuhan nutrisi pada tanaman.

Pokoknya begitu rinci Pak Heri menjelaskan lengkap dengan istilah-istilah rumit yang membuat saya tak sanggup mengingatnya. Selain itu, alat yang digunakan – meski terbilang sedikit mahal – bisa digunakan dalam jangka panjang. Ada sekitar enam model hidroponik (namanya apa saja, saya lupa) yang juga bisa dikolaborasikan untuk mendapati panen memuaskan.

Saya kira wajar, dari kecil saya sudah dikenalkan dengan konsep pertanian konvensional. Untuk pertanian ini, saya jauh lebih lihai dari Pak Heri, apalagi saya benar-benar terlibat bagaimana bertani di desa. Kesempatan itu saya dapatkan sebelum memilih jalan mengembara ilmu ke negeri Sultan, Yogyakarta. Dan, kesempatan berharga itu dimentori secara khusus oleh ayah, superhero tunggal dalam hidup saya, bukan Spider-Man yang bulan ini tayang di bioskop-bioskop untuk ketiga kalinya.

Oh iya, sekadar berbagi informasi. Semenjak dibentuknya Kementerian Desa, Pembanguan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDT), kini BBLM berada di bawah naungannya. Sebelumnya, BBLM sendiri berada di naungan Kemenakertrans, sekarang Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).

Kembali ke hidroponik. Akhir-akhir ini, hidroponik mulai digemari di Indonesia. Beberapa kota sudah melakukan budidaya menanam sebagaimana nenek moyang kita. Karenanya pula, menjamurnya hidroponik kemudian dijuluki sebagai konsep pertanian untuk perkotaan.

Julukan tersebut disematkan lantaran hidroponik juga merupakan budidaya menanam yang mampu memanfaatkan lahan seadanya dengan semaksimal mungkin. Bahkan, dinding tembok dan pekarangan yang sempit, semisal, juga bisa dijadikan lahan untuk bercocok tanam. Sebagaimana di awal, karena hidroponik fokus pada pemenuhan kebutuhan nutrisi air, bukan tanah.

Hidroponik di Desa, Why Not?

Nah, jika mengacu pada keterbatasan lahan, sebenarnya hidroponik ini juga cocok diterapkan di desa-desa – terutama masyarakat yang tidak memiliki lahan cukup luas, atau bahkan tak memiliki sawah – barang sepetak pun.

Melalui hidroponik, masyarakat desa bisa bercocok tanam dengan memanfaatkan lahan-lahan atau pekarangan di sekitar rumahnya. Dengan demikian, mereka – yang tak cukup lahan – tidak hanya menjadi kuli tani bagi tuan tanah di desanya. Tetapi juga bisa bercocok tanam dan menikmati hasil pertaniannya.

Saya rasa itu dulu sekelumit catatan tentang hidroponik yang baru saya kenal. Sebagaimana Pak Heri katakan, untuk mengenal hidroponik butuh setidaknya lima hari. Dan, Pak Heri siap memberikan taklimat, mengenal hidroponik beserta tetek bengeknya, dari teori hingga praktik. Sedang kemarin di BBLM, saya hanya dua jam, itu pun sibuk melakukan swafoto ke sana-sini.

Nah, untuk urusan hidroponik ini, saya tertarik memang. Mas Eman Hermawan pun siap mengais ilmu lebih dalam tentang hidroponik. Berhubung mobilitasnya yang luar biasa padat, kota ke kota adalah panggilan jiwanya. Mas Eman Hermawan perlu menentukan waktu yang tepat untuk memenuhi sebagaimana Pak Heri sampaikan. Dan, saya berencana ikut serta juga.

Selamat menunggu, semoga lekas terlaksana. Dan, catatan-catatan spesifik tentang hidroponik pun semoga pula bisa disajikan nantinya.

Sebagaimana di Jepang, keterbatasan lahan bukanlah penghalang untuk bercocok tanam. Bukankah demikian, dengan hidroponik, Jepang mampu memenuhi kebutuhan sayur warganya.

Kalau Jepang bisa, kenapa kita tidak. Apalagi lahan di Indonesia masih sangat luas sebenarnya untuk budidaya pertanian konvensional. Hadirnya hidroponik harus menjadi pemicu bahwa impor sembako itu adalah hal lucu bagi negara kita. Soal sembako, negeri kita semestinya ekspor, bukan sebaliknya.

Meminjam istilahnya band legendaris tanah air, Koes Plus, orang bilang tanah kita tanah surga. Betapa lucunya kalau tanah surga mengimpor sembako (apalagi soal kebutuhan sayur semata) untuk memenuhi kebutuhan warganya.

Sumber : Bercocok Tanam di Tengah Keterbatasan Lahan

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bercocok Tanam di Tengah Keterbatasan Lahan"

Posting Komentar