Ngaku Mahasiswa, Tapi (Kok) Alergi Teori?


Ngaku Mahasiswa, Tapi (Kok) Alergi Teori?

"Ah itu kan cuma teori!"

"Gak usah kebanyakan teori lah!"

Ucapan diatas sering sekali diucapkan beberapa orang dari berbagai kalangan. Tua atau muda, kaya atau miskin. Seakan-akan teori adalah sebuah hal negatif. Teori tidak menghasilkan apapun, tidak menyelesaikan masalah apapun.

Benarkah demikian? Jika teori dikatakan sebagai sebuah hal negatif, maka jawabannya tentu tidak benar.

Jika dikatakan teori tidak menghasilkan apapun dan tidak menyelesaikan apapun, tentu itu adalah pernyataan yang terlalu "berani". Kata "berani" yang dimaksud disini adalah berani dalam konotasi negatif.

Teori itu selalunya dikembangkan atau dirumuskan oleh kalangan terpelajar. Jarang sekali ditemukan kalangan tidak terpelajar yang mampu "berteori", karena berteori membutuhkan wawasan dan banyak bacaan serta pemahaman mendalam. Maka, jika ada kalangan tidak terpelajar yang anti-teori itu masih bisa dimaklumi. Lain halnya jika mereka adalah kalangan "terpelajar" (mahasiswa S1-S3).

Buku ajar pendidikan tinggi kita mulai dari S1 sampai S3 itu pasti berdasarkan teori yang sudah mapan. Maka, jika ada kalangan mahasiswa S1-S3 yang anti teori sungguh aneh. Bisa jadi mereka itu mahasiswa yang hanya mengincar predikat, bukan mahasiswa yang mau berproses (belajar, membaca dan memahami). Masuk kelas pun mungkn hanya mendengar sambil terkantuk-kantuk, tidak mau mencatat pula, sekali dua kali izin ke WC dan kembali ke kelas 30 menit kemudian. Wajar jika mereka ini tidak paham maksud dan tujuan dari teori. Perlu diketahui, tujuan dari teori itu sendiri ada 2 (dua), yaitu untuk:


  1. Menjelaskan fenomena yang terjadi SAAT INI, dan
  2. Memprediksi suatu fenomena DIMASA DEPAN. Mari kita lihat contoh pertama.


Mari kita lihat contoh pertama.

Kita sering melihat ada banyak orang resign dari pekerjaannya, padahal berkerjanya di perusahaan top dengan gaji markotop. Fenomena ini sangat menarik dan membuat kebanyakan orang bertanya "mengapa?", sambil membayangkan diri sendiri yang diahadapkan pada situasi tersebut kemudian berguman, "bodoh banget, ditawari gaji selangit kok ditolak!"

Perusahaan pun mungkin bertanya-tanya, mengapa ada orang yang resign padahal sudah ditawarkan gaji selangit.

Contoh fenomena seperti itu kemudian diteliti dan dianalisis secara ilmiah sehingga menghasilkan sebuah jawaban (dengan asumsi tertentu) dari pertanyaan "mengapa?" tadi. Jawaban itulah yang kita sebut sebagai TEORI.

Fenomena resign dari pekerjaan diatas dapat dijelaskan salah satunya dengan Teori Hygiene-Motivation dari Frederick Herzberg.

Berdasarkan kajiannya, Herzberg mendapati bahwa dalam tempat kerja ada faktor-faktor yang jika dihilangkan akan membuat karyawan menjadi tidak puas, dan adapula faktor-faktor yang dapat membuat karyawan puas dalam pekerjaan. Faktor yang pertama disebutkan disebut faktor hygiene dan yang kedua disebut faktor motivation.

Gaji menurut teori Herberg tidak termasuk kedalam faktor motivation. Maknanya, gaji bukan menjadi motivasi utama seorang karyawan di tempat kerja. Yang menjadi motivasi karyawan diantaranya adalah tantangan kerja, tanggung jawab kerja, lingkungan kerja dll. Karyawan yang resign dari kantor padahal gaji nya sudah tinggi dapat terjadi karena perusahaan tidak menyediakan faktor motivation seperti yang sudah disebutkan.




Dengan demikian masalah terkait fenomena diatas pun terpecahkan dengan sebuah TEORI. Masalah tingginya turn-over karyawan pun bisa diantisipasi berkat teori. Inilah fungsi pertama dari teori yaitu untuk menjelaskan fenomena yang terjadi saat ini.

Mari kita lihat contoh lainnya.

10-20 tahun belakangan transaksi jual beli dilakukan as usual (seperti biasanya). Jika Anda butuh barang, Anda akan beli ke pasar atau toko. Perkembangan teknologi pun belum secanggih saat ini.

Melihat betapa cepatnya teknologi berkembang, ahli pemasaran yakin bahwa dimasa depan teknologi akan mengubah paradigma pemasaran. Pendapat tersebut bukannya tanpa alasan. Pasalnya konsumen pasti akan membeli suatu produk yang menawarkan lebih banyak nilai (value).

Ahli pemasaran saat itu pun membayangkan jika konsumen dapat bertransaksi tanpa perlu datang ke lokasi tentu akan menghemat waktu, tenaga dan biaya. Penghematan waktu, tenaga dan biaya ini yang menjadi nilai (value) bagi konsumen.

Dari situlah dilakukan beberapa kajian dan penelitian terkait hubungan antara pemasaran dan teknologi sehingga jadilah beberapa teori. Teori-teori yang dikembangkan saat itu pun terbukti terjadi pada saat ini. Teknologi betul-betul mengubah paradigma pemasaran yang dulunya tanpa bantuan teknologi menjadi apa yang kita kenal saat ini dengan e-commerce dan atau internet marketing/e-marketing. Inilah fungsi kedua dari teori, yaitu untuk memprediksi apa yang akan terjadi dimasa depan.

Masih banyak contoh-contoh lainnya yang tidak mungkin bisa kami sebutkan satu persatu. Paling tidak dua contoh ringan diatas dapat membuka cakrawala kita bahwa teori itu tercipta dari suatu proses ilmiah (analisis, membaca, mensinkronisasi, dll). Sehingga orang yang mampu berteori bukanlah orang sembarangan.

So, setelah membaca tulisan ini kami harap agar tidak ada lagi sikap alergi terhadap teori. Tanpa teori masalah saat ini tidak dapat dijelaskan dan masalah masa depan tidak bisa diprediksi.
Sumber : Ngaku Mahasiswa, Tapi (Kok) Alergi Teori?

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ngaku Mahasiswa, Tapi (Kok) Alergi Teori?"

Posting Komentar